Konsep Kunci
Disonansi kognitif adalah ketidaknyaman yang muncul ketika kita melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepercayaan kita.Reza adalah seorang influencer kesehatan. Setiap hari, ia membagikan konten yang menginformasikan followers-nya tentang gaya hidup dan pola makan yang sehat. Namun, diam-diam, Reza memiliki sebuah rahasia: ia kecanduan merokok. Hal itu bertentangan dengan nilai-nilai dia tentang pentingnya kesehatan. Agar rasa bersalahnya tidak terlalu berat, ia meyakinkan dirinya:
"Saya berolahraga dan makan makanan sehat. Gak apa-apa kalau saya merokok sekali-kali."
Alasan itu cukup untuk menghilangkan disonansi (ketidaksesuaian) antara tindakannya dengan kepercayaannya.
Disonansi—Kepercayaan Vs. Tindakan
Kasus Reza di atas adalah contoh "disonansi kognitif." Konsep ini dicetuskan oleh Leon Festinger, ahli psikologi sosial dari Stanford University. Menurut Festinger, disonansi kognitif adalah ketidaknyamanan yang dirasakan individu ketika "melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang ia yakini, atau memiliki pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang ia miliki."
Festinger mengatakan bahwa kebutuhan untuk menghindari disonansi kognitif adalah kebutuhan dasar manusia—pentingnya sama seperti kebutuhan akan keamanan dan kebutuhan untuk makan. Ketidaknyaman yang disebabkan oleh disonansi kognitif begitu kuat sehingga kita ingin cepat menghilangkannya dengan mengubah perilaku atau mengubah kepercayaan kita.
Menjaga Keselarasan Kepercayaan-Tindakan
Kita makan untuk menghilangkan rasa lapar, dan kita membangun rumah dan berkomunitas untuk menghilangkan rasa takut. Menurut Festinger, kita juga punya mekanisme untuk menghilangkan disonansi kognitif: selective exposure, post-decision dissonance, dan minimal justification.
Selective Exposure (Paparan Selektif)
Festinger mengklaim bahwa manusia cenderung menghindari informasi yang bertentangan dengan kepercayaannya karena dapat menimbulkan disonansi. Ini alasan kita mengikuti influencer dan mengonsumsi konten yang memiliki politik dan ideologi serupa dengan kita. Kita memaparkan diri pada opini dan konten yang selaras dengan kepercayaan pribadi.
Paparan selektif melindungi kita dari informasi yang bisa menyebabkan disonansi kognitif, namun mekanisme ini juga punya kelemahan. Dieter Frey, seorang psikolog asal Jerman, menemukan bahwa paparan selektif tidak berfungsi jika kita tidak menganggap informasi tersebut mengancam nilai dan kepercayaan kita. Ini berarti jika informasi yang mengganggu disamarkan agar tidak terlihat sebagai ancaman, itu akan melewati filter paparan selektif.
Bagaimana caranya menyamarkan informasi yang mengganggu agar mudah diterima? Dua cara paling efektif untuk melewati filter selective exposure adalah melalui humor dan media. Penelitian membuktikan berkali-kali bahwa media dengan pemeran yang merokok menginspirasikan anak-anak untuk merokok, meskipun kedua orang tuanya tidak merokok. Dan media humoris lebih mudah membahas topik yang berat karena presentasi yang ringan dan menyenangkan.
Post-decision Dissonance (Disonansi Pasca-keputusan)
Menurut Festinger, apa pun keputusannya Arif, ia pasti akan mengalami disonansi pasca-keputusan. Festinger menyebut keputusan seperti ini close-call decisions. Close-call decisions memiliki tiga kondisi yang dapat menyebabkan disonansi kognitif:
- Pentingnya keputusan yang dibuat;
- lamanya waktu yang dihabiskan untuk memilih antara dua pilihan; dan
- seberapa sulitnya membatalkan keputusan setelah dibuat.
Selama ada salah satu atau lebih kondisi di atas, pasti akan ada ketidaknyamanan. Apakah keputusan itu tepat? Apakah lebih baik opsi lainnya? Inilah mengapa banyak konsumen masih membaca ulasan-ulasan tentang sebuah produk setelah membeli produk itu. Kita mencari afirmasi bahwa keputusan yang kita ambil sudah tepat.
Selain mencari informasi yang mendukung, kita juga mengurangi disonansi pasca-keputusan dengan mencari komunitas. Orang yang membeli mobil baru bisa mendapat dukungan dengan bergabung di komunitas pemilik mobil. Mereka yang berhenti merokok mencari kelompok mantan perokok untuk menegaskan kembali keputusan mereka untuk berhenti merokok.
Minimal Justification (Pembenaran Minimal)
Festinger mengklaim bahwa untuk mengubah sikap seseorang tentang sesuatu, caranya bukan dengan memberikan insentif yang sangat besar, melainkan memberikan insentif yang sesedikit mungkin. Minimal justification, atau pembenaran minimal, adalah insentif yang hanya cukup untuk membuat seseorang melakukan sesuatu yang counterattitudinal (tindakan yang bertentangan dengan sikapnya) dan tidak lebih. Menurut hipotesis Festinger ini, insentif yang terlalu besar justru tidak efektif mengubah sikap individu.
Untuk membuktikan hal ini, Festinger menanyakan sebuah pertanyaan sederhana: Apakah Anda akan berbohong demi satu dolar? Itulah premis dari eksperimen yang dilakukan oleh Festinger bersama psikolog sosial James Carlsmith.
The $20/$1 Experiment
Mereka merekrut mahasiswa laki-laki untuk berpartisipasi dalam studi mereka. Para peserta diminta untuk melakukan tugas yang sangat membosankan selama satu jam. Di akhir jam tersebut, setiap peserta diberitahu bahwa peserta berikutnya gagal hadir dan mereka membutuhkan bantuan untuk merekrut pengganti.Peserta diminta untuk menunjukkan antusiasme terhadap pekerjaan ketika berbicara dengan kandidat baru. Dengan kata lain, mereka diminta untuk berbohong tentang betapa menariknya pekerjaan itu. Sebagian pria ditawari $20 untuk berbohong, sementara yang lain hanya $1.
Ketika berhadapan dengan kandidat baru, semua pria berbohong dan mengatakan bahwa pekerjaan itu menarik. Namun, ada satu perbedaan penting antara pria yang dibayar $20 dan yang dibayar $1.
Setelah sesinya berakhir, semua peserta diminta memberikan penilaian tentang pekerjaan di studi.
Mereka yang dibayar $20 mengatakan bahwa pekerjaan itu membosankan dan tidak menarik. Sesuai ekspektasi.
Peserta yang hanya dibayar $1 cenderung mengatakan bahwa pekerjaan itu sebenarnya menyenangkan.
Kenapa bisa? Apa yang membuat peserta yang dibayar minim mengakui bahwa mereka menikmati pekerjaan itu?
Festinger menyimpulkan bahwa $20 adalah jumlah yang cukup besar (di waktu itu, uang segitu setara dengan 2 juta rupiah hari ini), sehingga disonansi kognitif peserta akan cepat lenyap. Kalau pun mereka tidak nyaman berbohong, mereka dapat membenarkannya dengan alasan jumlah uang yang besar.
Hal yang sama tidak dialami oleh mereka yang hanya dibayar $1. Jumlah ini lah yang dimaksud Festinger dengan pembenaran minimal. Insentif $1 cukup untuk membuat mereka berbohong, tetapi tidak cukup besar untuk membenarkan tindakan itu secara moral. Akibatnya, mereka mengalami disonansi kognitif yang hanya dapat dihilangkan dengan mencari pembenaran lain.
Solusinya? Mengubah opini tentang pekerjaan itu agar sesuai dengan tindakan mereka.
"Saya tidak berbohong pada rekrut baru. Memang sebenarnya pekerjaan itu lumayan menyenangkan!"
Akhirnya, mereka mengaku pekerjaan itu menyenangkan meskipun sebenarnya membosankan.
Menjembatani Kesenjangan Kognitif
Teori disonansi kognitif memberikan wawasan yang sangat berharga mengenai bagaimana individu mengelola ketidaknyamanan psikologis akibat konflik internal. Memahami mekanisme ini dapat membantu kita lebih bijaksana dalam menavigasi interaksi sosial dan membuat keputusan yang lebih baik.
Referensi
- Griffin, E. (2011). A First Look at Communication Theory (8th ed.). McGraw-Hill.
- Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
- Harmon-Jones, E., & Mills, J. (Eds.). (1999). Cognitive dissonance: Progress on a pivotal theory in social psychology. American Psychological Association. https://doi.org/10.1037/10318-000
- Cooper, J. (2007). Cognitive dissonance: Fifty years of a classic theory. Sage Publications Ltd.
- Aronson, E. (1992). The Return of the Repressed: Dissonance Theory and the Role of the Unconscious in Persuasion. In J. M. Olson & M. P. Zanna (Eds.), Advances in Experimental Social Psychology (Vol. 25, pp. 1-34). Academic Press.