Search
Laman ini terakhir diperbarui pada tanggal 16 Agustus, 2025.

Ilmu semiotika (atau semiologi) mempelajari bagaimana tanda-tanda diciptakan dan menghasilkan makna.

Istilah "semiologi" diperkenalkan oleh ahli linguistik asal Swiss, Ferdinand de Saussure. Saussure meyakini bahwa semiotika sangat penting untuk memahami interaksi dan kehidupan sosial manusia.

Pemikir hebat lain, seperti Charles Sanders Peirce, Roland Barthes, dan Umberto Eco, kemudian mengembangkan ide-ide Saussure menjadi konsep semiotika komparatif modern yang umum digunakan hari ini.

Penanda, Petanda, dan Tanda

Si Anak yang Malas

Kamu masuk di hari pertama di mata kuliah baru. Di dalam ruang kelas, kamu melihat seorang laki-laki sedang duduk bersandar di kursinya. Bajunya kusut dan tidak dikancingkan. Kamu berpikir, "Wah, anak ini pasti malas."

Ini yang disebut Ferdinand de Saussure sebagai tanda. Tanda adalah hal apa pun yang dapat merepresentasikan hal lain. Di contoh di atas, baju berantakan merepresentasikan sifat malas. Contoh-contoh lain untuk tanda termasuk:

  • Gambar tengkorak merepresentasikan bahaya/beracun.
  • Warna merah merepresentasikan panas, warna biru merepresentasikan dingin.
  • Kaca mata merepresentasikan kecerdasan.
Tiga contoh tanda yang sering ditemukan.

Menurut para ahli semiotika, komunikasi adalah proses berbagi makna melalui tanda.

Saussure menjelaskan ada dua komponen di dalam tanda: penanda dan petanda.

  • Penanda adalah bentuk dari tanda,
  • Petanda adalah hal yang direpresentasikan oleh penanda.

Kembali lagi ke contoh di atas, penanda adalah baju berantakan dan petanda adalah sifat malas. Bersama-sama, penanda dan petanda menjadi tanda: baju berantakan sebagai representasi sifat malas.

Logika Natural di Balik Tanda

Asosiasi panas dengan warna merah berasal dari interaksi nyata yang kita lihat setiap hari.

Mengapa bisa merah menjadi penanda panas? Salah satu alasannya karena ketika benda dipanaskan, ia berubah menjadi merah. Memang biasanya ada logika natural di balik penanda dan petanda.

Contoh lain adalah tengkorak sebagai penanda bahaya. Ketika orang mati, setelah beberapa waktu, kulit dan organnya kembali ke tanah dan yang tinggal cuma tengkoraknya. Akhirnya ada asosiasi tengkorak dengan kematian. Sesuatu yang mematikan adalah berbahaya. Racun bisa mematikan. Maka racun, karena bisa mematikan, maka berbahaya, sehingga akhirnya dapat ditandakan oleh gambar tengkorak.

Umberto Eco: Unlimited Semiotics

Tanda juga dapat melahirkan tanda lain. Ketika marah, darah mengalir lebih cepat ke bagian kepala, dan ini menyebabkan wajah memerah. Karena merah diasosiasikan dengan panas, maka orang yang sedang marah kadang dibilang "lagi panas". Jadi, selain merah sebagai penanda panas, merah juga menjadi penanda marah.

Proses penciptaan makna yang terjadi secara terus-menerus ini dideskripsikan oleh Umberto Eco sebagai unlimited semiotics, atau "semiotika tak berujung". Eco adalah penulis asal Italia yang menggabungkan berbagai kerangka pikir dan mazhab semiotika menjadi satu broad theory untuk ilmu komunikasi. Menurut Eco, tanda melahirkan tanda yang kemudian melahirkan tanda lain, dan begitu seterusnya tanpa akhir.

Charles Sanders Peirce: Ikon, Indeks, dan Simbol

Tidak semua penanda memiliki hubungan natural dengan petandanya. Perhatikan gambar berikut:

Ketiga tanda ini sering kita lihat ketika memainkan lagu atau memutarkan video di YouTube. Dari kiri ke kanan:

  • Tanda panah kanan (penanda) merepresentasikan play/putar/mainkan (petanda)
  • Dua tanda panah kanan (penanda) merepresentasikan fast forward/percepat (petanda).
  • Tanda panah kanan dengan garis vertikal (penanda) merepresentasikan next/skip/lewatkan/selanjutnya (petanda).

Muncullah pertanyaan menarik: apakah ada hubungan natural antara tanda panah dengan mainkan lagu?

Tidak! Asosiasi tanda panah dengan mainkan lagu tidak ditemukan di dunia alam. Asosiasi itu hanya ada karena kita semua menyepakatinya. Charles Sanders Peirce menyebut jenis tanda seperti ini sebagai simbol.

Simbol adalah tanda di mana penanda dan petanda terhubung oleh konvensi atau aturan manusia, bukan kemiripan fisik atau hubungan langsung. Peirce mendeskripsikan tiga jenis tanda:

  • Ikon: Penanda menyerupai petanda (cth. lukisan, foto, peta)
  • Indeks: Penanda memiliki hubungan langsung dengan petanda (cth. asap sebagai penanda api, langit gelap sebagai penanda hujan)
  • Simbol: Penanda dan petanda hanya memiliki hubungan konvensi atau lahir dari kesepakatan sosial (cth. tandah panah sebagai penanda putar video)

Menurut Charles Peirce, makna yang terkandung dalam simbol lahir dari konvensi dan konstruksi sosial. Hubungannya arbitrer dan tidak berasal dari logika alam Dengan kata lain, itu hanya bermakna karena kita semua sepakat bahwa itu bermakna.

Roland Barthes: Makna Sosial dan Kultural yang Terkandung dalam Tanda (Mitos)

Sebagai seorang ahli linguistik, Saussure meyakini bahwa bahasa adalah seluruhnya ciptaan manusia, dan bunyi-bunyi yang kita ciptakan dengan mulut atau kata-kata yang tertulis di atas kertas hanya memiliki makna yang kita sepakati bersama.

Contohnya, kata dosen (penanda) merepresentasikan tenaga pendidik di perguruan tinggi (petanda). Kenapa harus kombinasi huruf d-o-s-e-n? Kenapa bukan kata lain, atau huruf-huruf yang sama dengan urutan yang berbeda? Karena kita semua sepakat bahwa kata "dosen" berarti pendidik di perguruan tinggi. Tidak ada logika di balik asosiasi huruf-huruf itu dengan maknanya—bahasa manusia hanyalah sistem komunikasi berbasis simbol.

Roland Barthes mengembangkan konsep ini untuk tanda nonverbal. Ia menjelaskan bahwa seringkali manusia menciptakan logika di mana sebenarnya logika tidak ada, dan itu punya konsekuensi sangat besar pada budaya dan sistem-sistem sosial kita.

Contoh Denotasi dan Konotasi

Barthes membedakan dua strata tanda: denotatif dan konotatif. Lihat contoh berikut:

Contoh Denotasi dan Konotasi

Denotasi: Kunci mobil BMW (penanda) merepresentasikan pengendara mobil BMW (petanda).

Konotasi: Kunci mobil BMW (penanda) merepresentasikan status ekonomi dan sosial tinggi (petanda).

Di atas adalah contoh tanda denotatif dan konotatif.

  • Tanda denotatif adalah tanda yang berbasis observasi yang bisa kita lihat secara nyata dan fisik, bebas dari emosi, makna sosiokultural, atau bias pribadi. Hubungan antara penanda dan petanda berbasis logika natural:
    "Wanita itu punya kunci mobil BMW, maka ia pengendara mobil BMW."
  • Tanda konotatif adalah tanda yang diberikan makna sosial dan kultural.
    "Wanita itu punya kunci mobil BMW, maka ia pasti punya banyak duit."

Jika seseorang memiliki kunci mobil BMW, maka kita bisa berasumsi bahwa ia pemilik mobil BMW. Itu denotatif—berbasis observasi fisik.

Tetapi mobil BMW (melalui marketing dan pencitraan) dikenal sebagai merek yang mewah dan mahal—kendaraan untuk kelompok dari strata sosial tertentu. Secara tidak sadar, kita melekatkan makna lain pada kunci mobil: kekayaan dan status sosial tinggi. Ini namanya konotasi—tanda yang diberikan makna sosial dan kultural.

Tapi apa yang terjadi jika kita hilangkan konteks sejarah, budaya, dan realitas sosial dari konotasi? Ketika kita menghapus konteks di balik konotasi, tanda konotatif melahirkan mitos.

Naturalisasi Menciptakan Mitos

Menurut Barthes, manusia cenderung menciptakan "logika" di mana logika itu sebenarnya tidak ada. Mahasiswa berbaju kusut bisa saja sangat pekerja keras dan rajin, tapi jika kamu survei teman-teman dan dosen-dosen di kampus, hampir semuanya akan mengatakan bahwa mahasiswa berpakaian tidak rapi cenderung malas dan cuek terhadap studinya. Dan jika kamu tanya alasannya, mereka akan berikan banyak alasan logis, termasuk pernyataan yang simpel tapi berbahaya: "Karena memang begitu lah".

  • "Memang orang yang tidak memperhatikan penampilan cenderung gak peduli tentang studinya atau proses perkuliahan."
  • "Oh, memang mahasiswa begitu tidak mau kuliah sebenarnya."
  • "Sepupu saya juga berpenampilan begitu waktu kuliah dulu, dan dia DO."

Alasan "karena memang begitu" berarti, baginya, hubungan antara baju kusut dan sifat malas sudah terasa sangat natural; seolah-olah itu sebuah hukum alam bahwa manusia berpakaian kusut tidak ingin bekerja keras. Barthes menyebut proses penciptaan logika di mana sebenarnya tidak ada logika sebagai naturalisasi atau proses "menjadikan natural".

Mungkin anak itu terlambat bangun karena mengerjakan tugas kuliah hingga larut malam. Mungkin ia sedang mengalami isu emosional karena konflik di rumah. Proses naturalisasi menghapus semua nuansa dan konteks itu dan menggantikannya dengan sebuah logika keras. Ketika konteks dan sejarah dihilangkan, yang tersisa hanya penanda dan petanda, dan sama seperti tanda denotatif, kita menjadi merasa bahwa ada hubungan logika natural di balik tanda tersebut.

Menurut Barthes, mitos lahir ketika sebuah tanda dijauhkan dari semua konteks sejarah dan sosial hingga menjadi asosiasi yang natural. Baju kusut bukan lagi isu kontekstual (e.g., karena masalah di rumah, masalah ekonomi, atau masalah hubungan)—hanya tanda malas. Titik.

Lihat contoh berikut:

Langkah-langkah Penciptaan Mitos Jaket Kulit sebagai Simbol Pemberontakan

Jaket kulit (penanda) melindungi dari udara dingin (petanda)—tanda denotatif.

Karena ingin melindungi diri dari udara dingin, maka pengendara motor mengenakan jaket kulit saat berkendara. Ini melahirkan tanda...

Jaket kulit (penanda) merepresentasikan pengendara motor (petanda)—tanda denotatif.

Di tahun 1947, komunitas pengendara motor mengadakan pertemuan besar-besaran di Hollister, California. Sebagian besar anggota komunitas adalah mantan tentara yang baru pulang dari luar negeri pasca Perang Dunia Dua. Saat pertemuan, beberapa anggota komunitas pengendara motor mabuk dan menyebabkan kericuhan. Kemudian, lahirlah tanda...

Jaket kulit (penanda) merepresentasikan pemberontak dan pemabuk (petanda)—tanda konotatif.

Gerakan punk lahir di tahun 1970-an sebagai gerakan kultural dan musikal yang menolak industri musik dan entertainment yang terlalu rapi dan bersih. Gerakan ini dari awal identik dengan pemberontakan dan ekspresi diri yang bebas. Sehingga muncullah tanda...

Orang punk (penanda) merepresentasikan pemberontak, pericuh, dan ekspresi diri (petanda)—tanda konotatif.

Akhirnya, banyak pengikut gerakan punk mengenakan jaket kulit yang juga memiliki konotasi pemberontak. Dan...

Jaket kulit (penanda) merepresentasikan pemberontak, pericuh, dan ekspresi diri (petanda)—tanda konotatif.

Di tahun 1970an hingga 1990an, gerakan punk menarik banyak perhatian mainstream, tapi sebagian besar masih perhatian negatif. Orang punk masih dilihat sebagai budaya konterkultural yang kekanakanakan dan tidak bertanggung jawab.

Tetapi simbol-simbol punk akhirnya digunakan dalam film dan media mainstream sebagai tanda pemberontakan. Beberapa tokoh film seperti Danny Zuko (Grease), Jim Stark (Rebel Without a Cause), dan Johnny Strabler (The Wild One) merupakan pemberontak yang mengenakan jaket kulit. Tokoh-tokoh ini menangkap perhatian masyarakat umum dan menjadi tokoh penting di budaya pop pada masanya. Akhirnya, jaket kulit diasosiasikan dengan cool atau keren. Sehingga...

Jaket kulit (penanda) merepresentasikan pemberontak, ekspresi diri, dan kekerenan (petanda)—tanda konotatif.

Setelah konotasi jaket kulit dengan kekeranan tercipta, semua anak muda ingin terlihat keren seperti tokoh-tokoh film kesukaannya. Maka keluarlah mereka mencari jaket kulit.

Sekarang, jaket kulit adalah simbol pemberontakan yang keren. Banyak orang memakai jaket kulit meskipun bukan orang punk atau anggota komunitas pengendara motor.

Ini yang Barthes sebutkan sebagai penciptaan mitos.

Ingin terlihat keren? Pakai saja jas kulit. Kamu tidak perlu mengetahui sejarah gerakan punk, atau keterkaitan kebebasan ekspresi dan budaya konterkultural di balik penggunaan jaket itu sebagai tanda pemberontakan.

Kemudian, selebriti, artis, dan presiden pun mulai mengenakan jaket kulit hitam. Dengan hilangnya konteks dan sejarah, akhirnya, semua orang bisa pakai jaket kulit hitam agar terlihat anti-mainstream dan pemberontak, meskipun belinya di pusat komersial kapitalis seperti mal.

Contoh Analisis Semiotika: Studi Kasus Pepe the Frog

Pepe the Frog, seekor kodok hijau, melihat pengguna dengan ekspresi wajah yang murung.

Jika kamu sering menonton siaran langsung di Twitch atau YouTube, mungkin kamu sudah tidak asing dengan Pepe the Frog. Gambar Pepe yang paling terkenal adalah seekor kodok hijau dengan ekspresi murung. Gambar ini sempat menjadi salah satu emotikon paling populer di Twitch, hingga pihak Twitch melarangnya pada tahun 2021.

Namun, tahukah kamu? Pada tahun 2016, Anti-Defamation League (ADL), sebuah organisasi yang memperjuangkan inklusivitas dan menentang ujaran kebencian, memasukkan gambar Pepe ke dalam daftar simbol kebencian. Di daftar yang sama, terdapat simbol lain seperti swastika Nazi dan salib terbalik milik Ku Klux Klan, kelompok rasis di Amerika Serikat.

Bagaimana bisa gambar Pepe, yang awalnya hanya ilustrasi sederhana dan unik, justru berasosiasi dengan kebencian? Mari kita telusuri bagaimana proses semiotika dapat mengubah makna suatu gambar hingga menjadi simbol rasisme.

Pepe the Frog sebagai simbol kesedihan

Saat pertama kali menjadi emotikon di Twitch, audiens menggunakan Pepe the Frog sebagai simbol kekecewaan dan kesedihan. Ketika seorang streamer mengalami kegagalan atau menerima kabar yang mengecewakan, penonton sering mengirimkan emotikon Pepe secara massal sebagai bentuk ekspresi "turut berduka".

Tanda Denotatif: Pepe sebagai simbol kesedihan

Pepe the Frog sebagai simbol kesedihan merupakan contoh tanda denotatif

Penanda: Gambar kodok dengan wajah murung
Petanda: Perasaan sedih dan kecewa

Hubungan antara ekspresi wajah murung dengan emosi sedih cukup jelas dan tidak mengandung makna ideologis atau kultural.

Pepe the Frog sebagai simbol konservatisme

Screenshot retweet Donald Trup dengan gambar dirinya digambarkan dengan gaya Pepe the Frog.

Pada tahun 2015, calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump, me-retweet karikatur dirinya yang dalam gaya Pepe the Frog, dengan teks "You Can't Stump the Trump" (Kamu tidak bisa mengalahkan Trump).

Beberapa bulan kemudian, lawan politiknya, Hillary Clinton, menyebut sebagian pendukung Trump sebagai "deplorables" (orang-orang patut dicela). Sebagai respons, putra Trump, Donald Trump Jr., mengunggah gambar parodi poster film The Expendables, yang telah diedit dengan memasukkan wajah Trump, tokoh konservatif lain, serta Pepe the Frog. Ia juga mengubah judul poster tersebut menjadi The Deplorables.

Tweet Donald Trump Jr. dengan gambar-gambar tokoh-tokoh konservatif Amerika berjejeran. Trump berada di tengah dengan Pepe the Frog di sampingnya.

Di sinilah kita melihat munculnya dua sistem semiotika konotatif:

Konotasi Pepe sebagai Simbol Konservatisme

Dalam sistem semiotika ini:

Penanda: Gambar kodok sedih
Petanda: Gerakan revolusi konservatif

Pepe yang awalnya hanya simbol kesedihan kini dimaknai ulang sebagai ikon ideologis. Padahal, tidak ada hubungan alami antara Pepe dan konservatisme. Namun, seiring waktu, makna ini dinaturalisasi, sehingga pendukung konservatisme mulai menganggapnya sebagai sesuatu yang "masuk akal".

Konotasi Pepe sebagai Simbol Ketercelaan

Sementara itu, bagi pihak lawan politik Trump:

Penanda: Gambar kodok sedih
Petanda: Orang-orang yang patut dicela

Tidak ada hubungan nyata antara Pepe dan ketercelaan. Namun, melalui naturalisasi, sebagian kelompok sosial—khususnya yang berpandangan liberal—melihat keterkaitan ini sebagai sesuatu yang "logis".

Seperti yang dikatakan Barthes, orang sering kali menggunakan tanda pada ordo kedua hingga makna awalnya terhapus. Pepe yang sebelumnya hanya melambangkan kesedihan kini berubah menjadi simbol politik yang maknanya bergantung pada perspektif masing-masing kelompok.

Pepe the Frog sebagai simbol kebencian

Tim kampanye Hillary Clinton kemudian menerbitkan artikel berjudul "Donald Trump, Pepe the Frog, and White Supremacists: An Explainer", yang mengaitkan Pepe dengan gerakan supremasi kulit putih.

Beberapa bulan kemudian, klaim ini terbukti ketika seorang penganut supremasi kulit putih menyatakan bahwa ada upaya untuk "merebut kembali Pepe dari para normies" (normies adalah istilah slang untuk pengguna internet biasa).

Sekali lagi, makna Pepe mengalami evolusi: dari simbol ketercelaan menjadi simbol kebencian.

Konotasi Pepe sebagai Simbol Kebencian

Penanda: Pepe sebagai simbol konservatisme
Petanda: Supremasi ras kulit putih dan ujaran kebencian

Tanda yang sebelumnya sudah bermuatan ideologis kini mendapatkan makna ideologis baru, yaitu supremasi ras. Transformasi ini membuat Pepe semakin dikaitkan dengan gerakan ekstremis, meskipun awalnya ia hanya sebuah karakter dari komik sederhana.

Apa Itu Semiotika? Pentingnya Kemampuan Dekonstruksi Tanda

Dalam esai-esainya, Roland Barthes memperingatkan bahwa makna konotatif dapat membentuk realitas sosial dan politik tanpa kita sadari. Ia menekankan pentingnya kemampuan untuk menganalisis dan mendekonstruksi tanda.

Ketika kita membiarkan mitos mendominasi simbol dan tanda dalam kehidupan sosial, kita menjadi rentan terhadap manipulasi. Konstruk sosial yang tampak logis bisa saja menipu kita, sehingga pihak-pihak tertentu dapat dengan mudah membentuk cara kita melihat dunia.

Jadi, lain kali ketika kamu menemukan simbol atau tanda baru, cobalah untuk berpikir lebih kritis:

  • Apa itu semiotika?
  • Apakah tanda ini memiliki makna emosional, politis, atau ideologis?
  • Dari mana konotasi itu berasal?

Dengan memahami bagaimana makna terbentuk, kita dapat mengenali dan menganalisis bagaimana orang menggunakan simbol dalam berbagai konteks, baik budaya, politik, maupun sosial.

Referensi

  • Barthes, R. (1972). Mythologies (A. Lavers, Trans.). Hill and Wang.
  • Barthes, R. (1988). The semiotic challenge (R. Howard, Trans.). Hill and Wang.
  • BBC News. (2016, September 27). Pepe the Frog meme branded a 'hate symbol' [News article]. BBC. https://www.bbc.com/news/world-us-canada-37493165
  • De Saussure, F. (1966). A course in general linguistics. McGraw-Hill.
  • Griffin, E. (2019). A first look at communication theory (10th ed.). McGraw-Hill.

Gabung bersama kami membuat perubahan positif bagi masyarakat.

Baca informasi pendaftaran mahasiswa baru → Download brosur FISIP UPRI →